4 November 2017

Telur Bebek - Cerpen (Cerita Pendek)


            Ia seorang bocah lugu yang tak pernah merasakan indahnya hidup. Setiap hari berjalan menelusuri tiap perumahan warga dengan jarak yang tak biasa. Hanya mengandalkan kaki mungilnya dan tanpa beralaskan kaki. Membawa dagangannya dengan tergopoh-gopoh. Tak seberapa hasil yang ia dapat tetapi ia tangguh dan selalu mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya.

            Namaku Hana. Hana Maisie… Sebutir Bunga Mutiara …

Ibuku keturunan Jepang yang menamaiku saat itu. Ibu selalu bilang kepadaku, beliau menamaiku Hana Maisie agar kelak aku menjadi bunga… yang mekar dengan indahnya… dan tak terjangkau…

            Kini aku duduk dikelas 3 SMA , setelah melaksanakan Ujian Nasional, hari ini adalah penentuan berhasil atau tidaknya mendapatkan kunci untuk masuk ke pintu perguruan tinggi atau jenjang universitas. Akhirnya aku lulus dengan nilai terbaik, tidak sia-sia perjuanganku untuk mendapatkan universitas favorit impianku. Ibuku bangga akan keberhasilanku ini. Bukan hanya ibu, akupun bangga dengan diriku sendiri.

            Akhirnya liburan pun dating, aku dan keluargaku berlibur ke Surabaya, lebih tepatnya kami menginap di kediaman eyangku. Perjalanan yang panjang membuat penat dan merasa mual. Setelah hampir sampai dirumah eyang, aku melihat beberapa bocah desa yang menjajakan dagangan yang dipikulnya ke tiap mobil yang melewatinya, sangat disayangkan di siang hari yang begitu terik ini dagangan mereka terlihat masih begitu penuh, sudah terlihat sekali wajah lelah mereka dan juga dipenuhi dengan air keringat.

            Sesampainya disana, kami menghabiskan waktu dengan bercengkrama, menceritakan semua rasa sedih maupun senang selama dirumahku kepada eyang. Akupun juga banyak diberi nasehat darinya.

            Disebuah pagi yang cerah, aku berjalan mengelilingi kebun-kebun juga perumahan desa, warganya sangat ramah dan hangat, seakan seperti aku keluarganya juga. Cukup jauh aku berjalan, aku melihat seorang bocah dengan langkah gontai. Tangannya yang kecil memegang keranjang telur bebek untuk diperdagangkan. Anak itu pergi menawarkan dagangannya diantara kendaraan yang melewatinya, tetapi hanya sedikit rang saja yang kelihatannya tertarik pada telur bebek anak itu. Sisanya hanya menggelengkan kepala tanpa sedikitpun menunjukkan rasa perduli pada anaknya tersebut.

            Tak lama setelah dia berdiri menawarkan dagangannya, anak itupun pergi dan duduk di bebatuan sebelah jalan. Niatku ingin membantunya membeli telur tersebut, tetapi hari sudah semakin siang, aku harus kembali kerumah eyang, kalau tidak pasti semua akan cemas mencariku.

            Pada siang hari yang terik, sekiranya pukul 2 siang, aku diajak bibiku pergi kepasar untuk membeli bahan makanan untuk makan malam. Tak jauh dari rumah eyang, aku sudah Sampai di pasar. Aku melihat kembali bocah itu, bocah yang sama, si penjual telur bebek. Kali ini dia menawarkan dagangannya di pasar, terlihat sekali dagangan yang dibawanya masih sama seperti tadi pagi. Tidak tega melihatnya, akupun segera menghampirinya dan ingin membeli dagangannya.

            “Dek … berapa harga telur satuannya? “,
            “Cuma lima ratus rupiah saja”.

            Tak jarang telur bebek yang sudah retak dan pecah. Aku mengajaknya duduk sejenak diwarung kopi dekat pasar, dan membelikan minuman untuknya. Sangat penasaran aku menanyakan semua hal tentangya. Dia pun tak sungkan menjawab pertanyaan dariku. Ternyata dia seorang anak yatim yang tinggal bersama Ibu dan kedua adiknya, saat ditanyakan usia, dia tak tahu usianya, tetapi sepertinya dia berusia 7 tahun. Ia membantu menjual telur bebek tetangganya, setiap harinya hanya diberi upah dua ribu rupiah sampai dengan lima ribu rupiah. Tergantung sisa telur bebek yang ia jualnya. Bayangkan ! Apa yang ia bias beli dari penghasilannya yang sangat minim itu?. Sedangkan dia harus menafkahi kedua adik dan juga ibunya yang sedang sakit. Dia juga sering berpuasa, karena memang sama sekali tak ada makanan yang ia punya.

            Ia tak punya biaya membeli obat untuk ibunya. Biaya untuk membeli obat saja tidak ada, apalagi untuk biaya sekolahnya. Dia hanya belajar di kantor kepala desa yang mengadakan kelas gratis kepada warganya yang tak mampu belajar di sekolah umum.

            Sangat miris hatiku mendengar semua ceritanya. Tapi tak ada sedikitpun rasa menyerah diwajahnya. Tak kusangka diasangat memberikan motivasi kepadaku. Hari pun sudah semakin sore, aku membeli semua telur bebek yang ia jual, dan memberikan satu lembar saratus ribu rupiah kepadanya. Ia sangat senang, dan berkali-kali berterimakasih kepadaku.

            Tetapi karena terlalu bersemangat, saat ia melihat jalan tengah kosong, ia langsung menyebrang jalan tanpa menyadari sebuah sepeda motor yang melaju kencang sehingga menabraknya. Para warga yang melihatnya hanya dapat mengerumuni tubuhnya yang telah terkapar lemas dan bersimbah darah yang keluar dengan banyak sehingga baju lusuhnya yang semula putih menjadi merah pekat.

            Diwajahnya terpancar senyuman polos seorang bocah dan ditangan mungilnya menggenggam erat selembar uang seratus ribu rupiah yang ia dapat dariku.


            Surya… Si Penjual Telur Bebek.

Tidak ada komentar: