Tiga hari yang
lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah
pesan singkat yang dikirim adikku,"Ibu sakit keras dan ingin sekali
bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar,
kak". Aku mengeluh perlahan
membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Ica setelah
beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin
ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Tiba-tiba rinduku
pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal.
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja
di sebuah perusahaan swasta di kawasan Tokyo. Inipun aku pulang setelah kemarin
menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo.
Sudah hampir dua
puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Genzi,
pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Genzi
sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan
itu, kami menikah. Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi
murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan
kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu
banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena
aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Genzi. Saat itu aku berkeras
dan tak terlalu menghiraukan kekhawatiran ibu.Pada akhirnya memang benar kata
ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak
pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah
tangga. Hampir saja rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ibu banyak membantu
kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan.
Aku tersentak
ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera
tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku
menggigil. Sesaat setelah masuk ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat
dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di
kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor
kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan
tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata
tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam
ingatanku.
Terakhir ketika
aku pulang menemani puteriku, Yuki dan Yuka, liburan musim panas. Hanya satu
bulan di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya
ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku
yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan
semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku.
"Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini" ,bisikku perlahan
.Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru
ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku
menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan
salju memutihkan segenap penjuru.
Tiba-tiba aku
teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa
dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak
terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat
ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa izin padaku
atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya.
Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali.
Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia
berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan
memberikan kebebasan padanya. Menurutnya, ia akan menjaga diri dengan
sebaik-baiknya.
Untuk menghindari
pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam
gelisah. Yuki juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan
urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat
bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat
mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya.
Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Yuki telah menamatkan SD nya. Namun memang
dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya,aku frustasi juga, tapi akhirnya aku
alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja.
Tergambar lagi
dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji
ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di
tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa
buatku. Teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa
kali kutengok arloji dipergelangan tangan. Akhirnya setelah menyelesaikan semua
urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat.
Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu
seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no
smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi
kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang
memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera Pasifik sambil berdzikir
memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang.
Yogya belum banyak
berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya.
Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua
kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku
ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang
banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu
yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku
untuk bertemu ibu. Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu,
rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara
tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada
satu yang berubah, ibu. Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski
usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah
tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya,
"Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih
tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran
air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang
aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami
berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata.
Dari matanya, aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya
yang telah sekian lama tidak berjumpa.
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar