Ia seorang bocah lugu yang tak pernah merasakan indahnya hidup. Setiap hari berjalan menelusuri tiap perumahan warga dengan jarak yang tak biasa. Hanya mengandalkan kaki mungilnya dan tanpa beralaskan kaki. Membawa dagangannya dengan tergopoh-gopoh. Tak seberapa hasil yang ia dapat tetapi ia tangguh dan selalu mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya.
Namaku Hana. Hana
Maisie… Sebutir Bunga Mutiara …
Ibuku keturunan Jepang yang menamaiku saat itu. Ibu selalu bilang
kepadaku, beliau menamaiku Hana Maisie agar kelak aku menjadi bunga… yang mekar
dengan indahnya… dan tak terjangkau…
Kini aku duduk
dikelas 3 SMA , setelah melaksanakan Ujian Nasional, hari ini adalah penentuan
berhasil atau tidaknya mendapatkan kunci untuk masuk ke pintu perguruan tinggi
atau jenjang universitas. Akhirnya aku lulus dengan nilai terbaik, tidak
sia-sia perjuanganku untuk mendapatkan universitas favorit impianku. Ibuku bangga
akan keberhasilanku ini. Bukan hanya ibu, akupun bangga dengan diriku sendiri.
Akhirnya liburan
pun dating, aku dan keluargaku berlibur ke Surabaya, lebih tepatnya kami
menginap di kediaman eyangku. Perjalanan yang panjang membuat penat dan merasa
mual. Setelah hampir sampai dirumah eyang, aku melihat beberapa bocah desa yang
menjajakan dagangan yang dipikulnya ke tiap mobil yang melewatinya, sangat
disayangkan di siang hari yang begitu terik ini dagangan mereka terlihat masih
begitu penuh, sudah terlihat sekali wajah lelah mereka dan juga dipenuhi dengan
air keringat.
Sesampainya
disana, kami menghabiskan waktu dengan bercengkrama, menceritakan semua rasa
sedih maupun senang selama dirumahku kepada eyang. Akupun juga banyak diberi
nasehat darinya.
Disebuah pagi yang
cerah, aku berjalan mengelilingi kebun-kebun juga perumahan desa, warganya
sangat ramah dan hangat, seakan seperti aku keluarganya juga. Cukup jauh aku
berjalan, aku melihat seorang bocah dengan langkah gontai. Tangannya yang kecil
memegang keranjang telur bebek untuk diperdagangkan. Anak itu pergi menawarkan
dagangannya diantara kendaraan yang melewatinya, tetapi hanya sedikit rang saja
yang kelihatannya tertarik pada telur bebek anak itu. Sisanya hanya
menggelengkan kepala tanpa sedikitpun menunjukkan rasa perduli pada anaknya
tersebut.
Tak lama setelah
dia berdiri menawarkan dagangannya, anak itupun pergi dan duduk di bebatuan
sebelah jalan. Niatku ingin membantunya membeli telur tersebut, tetapi hari
sudah semakin siang, aku harus kembali kerumah eyang, kalau tidak pasti semua
akan cemas mencariku.
Pada siang hari
yang terik, sekiranya pukul 2 siang, aku diajak bibiku pergi kepasar untuk
membeli bahan makanan untuk makan malam. Tak jauh dari rumah eyang, aku sudah
Sampai di pasar. Aku melihat kembali bocah itu, bocah yang sama, si penjual
telur bebek. Kali ini dia menawarkan dagangannya di pasar, terlihat sekali
dagangan yang dibawanya masih sama seperti tadi pagi. Tidak tega melihatnya,
akupun segera menghampirinya dan ingin membeli dagangannya.
“Dek … berapa
harga telur satuannya? “,
“Cuma lima ratus
rupiah saja”.
Tak jarang telur
bebek yang sudah retak dan pecah. Aku mengajaknya duduk sejenak diwarung kopi
dekat pasar, dan membelikan minuman untuknya. Sangat penasaran aku menanyakan
semua hal tentangya. Dia pun tak sungkan menjawab pertanyaan dariku. Ternyata
dia seorang anak yatim yang tinggal bersama Ibu dan kedua adiknya, saat
ditanyakan usia, dia tak tahu usianya, tetapi sepertinya dia berusia 7 tahun.
Ia membantu menjual telur bebek tetangganya, setiap harinya hanya diberi upah
dua ribu rupiah sampai dengan lima ribu rupiah. Tergantung sisa telur bebek
yang ia jualnya. Bayangkan ! Apa yang ia bias beli dari penghasilannya yang sangat
minim itu?. Sedangkan dia harus menafkahi kedua adik dan juga ibunya yang
sedang sakit. Dia juga sering berpuasa, karena memang sama sekali tak ada
makanan yang ia punya.
Ia tak punya biaya
membeli obat untuk ibunya. Biaya untuk membeli obat saja tidak ada, apalagi
untuk biaya sekolahnya. Dia hanya belajar di kantor kepala desa yang mengadakan
kelas gratis kepada warganya yang tak mampu belajar di sekolah umum.
Sangat miris
hatiku mendengar semua ceritanya. Tapi tak ada sedikitpun rasa menyerah
diwajahnya. Tak kusangka diasangat memberikan motivasi kepadaku. Hari pun sudah
semakin sore, aku membeli semua telur bebek yang ia jual, dan memberikan satu
lembar saratus ribu rupiah kepadanya. Ia sangat senang, dan berkali-kali
berterimakasih kepadaku.
Tetapi karena
terlalu bersemangat, saat ia melihat jalan tengah kosong, ia langsung
menyebrang jalan tanpa menyadari sebuah sepeda motor yang melaju kencang
sehingga menabraknya. Para warga yang melihatnya hanya dapat mengerumuni
tubuhnya yang telah terkapar lemas dan bersimbah darah yang keluar dengan banyak
sehingga baju lusuhnya yang semula putih menjadi merah pekat.
Diwajahnya
terpancar senyuman polos seorang bocah dan ditangan mungilnya menggenggam erat
selembar uang seratus ribu rupiah yang ia dapat dariku.
Surya… Si Penjual
Telur Bebek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar